Atlantis 2.0

Apa Itu Atlantis 2.0?? Atlantis adalah program pertumbuhan internasional yang dibuat oleh komunitas Sei. Program Atlantis adalah kesempatan menarik bagi individu dari seluruh dunia untuk bersatu…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Saatnya Memutus Rantai Stigma!

Jelang tanggal 30 September sejak tahun 1965, topik-topik yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) selalu menjadi isu hangat yang tiba-tiba dibicarakan publik. Mulai dari proyek rutin “Hantu PKI”¹ , penangkapan terduga simpatisan tanpa melalui proses pengadilan, diskusi terbuka tentang dalang sebenarnya G30S/PKI, hingga kejahatan Soeharto kepada PKI dan simpatisannya. Hal itu dapat dipahami, mengingat beberapa track record buruk yang dimiliki oleh partai ini.

Mundur sedikit ke tahun 1948, PKI pernah memberontak dengan mendirikan “Republik Soviet Indonesia” yang dalam prosesnya memakan banyak sekali korban, seperti pada peristiwa Pabrik Gula Redjosari contohnya. Hal tersebut tentunya membekas bagi rakyat, terlebih bagi yang menjadi kerabatnya menjadi korban. Tujuh belas tahun kemudian, PKI memberontak lagi pada 30 September 1965, kali ini Jendral dan petinggi Angkatan Darat yang menjadi korbannya.

Meninggalkan luka mendalam bagi negara pasca peristiwa ’65, negara menginisiasi suatu aksi “bersih-bersih”. Mulai dari pelarangan pelarangan simbol palu arit, pelarangan ideologi komunis, hingga melakukan diskriminasi terhadap anak cucu simpatisan PKI. Pemerintah Orde Baru menerbitkan istilah “bersih diri” dan “bersih lingkungan” untuk menyaring calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI/POLRI².

Istilah “bersih diri” berarti diri orang tersebut bebas dari ideologi komunis dan “bersih lingkungan” berarti keterangan bahwa keluarga orang tersebut terbebas dari ideologi komunis sejauh tiga generasi secara vertikal maupun horizontal. Masalahnya bersih diri belum tentu bersih lingkungan, ataupun sebaliknya. Hal tersebut menimbulkan bentuk diskriminasi yang amat masif kepada anak cucu simpatisan PKI, ironisnya mereka mendapatkan diskriminasi semacam ini saat mereka merupakan warga negara yang harus dipenuhi haknya. Mungkin kita bisa memaklumi sistem tersebut untuk mendaftar ke instansi TNI/POLRI, mengingat perjalanan historis PKI dan ABRI. Namun dalam kasus PNS, mereka bahkan sudah kehilangan kesempatan bahkan sebelum mencoba.

Tak hanya itu, keturunan simpatisan juga mendapatkan tanda bahwa mereka pernah memiliki kaitan dengan PKI. Mereka memiliki tanda “ET” alias “Eks Tapol” di KTP-nya, sehingga sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal³. Walaupun hal tersebut sudah tidak terjadi di masa sekarang, tetapi tekanan sosial dan psikologis yang dirasakan oleh penyintas tentu bukan main rasanya.

Mungkin heroisme negara ini telah menang dalam menghadapi komunisme, tetapi negara ini telah mengorbankan masa depan sebagian kecil warganya dalam rangka pemenangan tersebut. Bagaimana pun caranya, negara harus membayar dosa masa lalunya. Negara jelas tidak akan mau meminta maaf atas “pembersihan” yang telah mereka lakukan. Namun, setidaknya perbaikilah hubungan para anak cucu korban diskriminasi ini kepada negara itu sendiri.

Melihat hal tersebut sebuah rekonsiliasi harus dilakukan. Langkah tersebut diambil oleh sebuah NGO bernama “Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB)”⁴. Organisasi ini didirikan oleh putra-putri dari para tokoh sejarah masa lalu yang saling berhadapan sebagai lawan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Mereka memikul trauma personal, kolektif, dan kultural dari generasi sebelum mereka⁵, sehingga mereka ingin hidup bebas dari sandera beban sejarah masa lalu mereka. Jika anak-cucu Aidit, Soepardjo — Jenderal Merah — , Sutoyo, Yani, dan lain-lain saja dapat berdialog dalam satu meja yang sama, padahal orang tua mereka saling menumpahkan darah. Masa iya Pemerintah tidak bisa mengusahakan rekonsiliasi bagi anak-cucu antek PKI yang mereka diskriminasi sendiri.

Peristiwa-peristiwa pemberontakan PKI telah memakan banyak korban tak bersalah. Kenapa kita harus menambah korban? Apakah anak-cucu yang belum tentu terlibat ini harus jadi korban juga? Mereka juga tidak bisa memilih mau dilahirkan dari keluarga seperti apa. Rekonsiliasi penting adanya agar mereka dapat kembali berbaur menjadi warga negara yang setara dengan kita, tanpa adanya diskriminasi ataupun rasa rendah diri. Soekarno pernah berkata bahwa “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”, tetapi kita harus ingat bahwa kita harus berhenti mewariskan konflik lama karena Nelson Mandela pernah berkata “To forgive, not to forget”. Bagaimana pun mereka juga manusia, di sinilah kita bisa membuktikan gaungan “memanusiakan manusia” bukan sebuah omong kosong semata.

Add a comment

Related posts:

What is Residential Architect? Unveiling the Role of an Architect in Home Design and Construction

In the world of home design and construction, architects play a vital role in creating functional, aesthetically pleasing, and safe living spaces. But what is a residential architect exactly? In this…

Why Every Expat Should Talk to the Grocery Store Cashier

You are still not living in your permanent home, but staying in temporary accommodation until you finally decide which part of the city is suitable for an expat like you. Thus, you marked a meeting…

About the Districts for Sale

Sin City Centre is the central district in the SinVerse. It is where new users will first arrive when launching the game for the first time. Every resource possible will be available here, but mainly…